Eduard Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang dikenal
dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk
menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga
“Kepulauan Hindia” ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde
ini kurang populer.
Nusantara
Pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes
Dekker ( 1879 – 1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik
Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung
unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah
yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari
Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad
ke-19 lalu diterjemahkan oleh JLA. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas
Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh
berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit,
Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara
dalam Bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa
(Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah
nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang,
barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit
yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki
arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa
pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari
Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif
dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk
menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah
ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang
Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada
tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl (
1813 – 1865 ), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74,
Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan,
Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl
menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau
Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab
nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.
Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos
dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
“… the inhabitants
of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively
Indunesians or Malayunesians“.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia
(Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia
sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk
Ceylon ( Srilanka ) dan Maladewa. Earl berpendapat juga bahwa nahasa Melayu
dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan
istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347,
James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian
Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas
bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago”
terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang
Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka
lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia
dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
“Mr. Earl suggests
the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I
prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter
synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago“.
Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan
tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak
saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam
tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di
kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas
Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 ) menerbitkan buku Indonesien
oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat
hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880.
Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana
Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan
Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie
van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah
“Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah
“Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang
ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische
Pers-bureau.
Nama indonesisch (Indonesia) juga
diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van
Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan
indonesiër (orang Indonesia).
Referensi
:
0 komentar:
Posting Komentar