Beberapa hari belakangan ini pompa bensin
diseantero jakarta, diserbu oleh mobil-mobil pribadi, namun bukan untuk mengisi
bensin atau solar, kedatangan mereka sejak pagi hari melalui
antrian sangat menyolok, bahkan sudah menyulitkan pemilik mobil pribadi yang
hendak membeli BBM. Mobil-mobil tersebut berdatangan, terus menerus,
mereka hendak memasang alat baru pada mulut tangki berbentuk ring, sebagai alat
baru ciptaan salah satu anak perusahaan pertamina, untuk memonitor pembelian
bensin atau solar subsidi, sesuai dengan keputusan BPH Migas tahun ini.
Pemakaian RFDI atau semacam alat pendeteksi
pembelian BBM bersudsidi, merupakan keputusan Pemerintah untuk memonitor secara
elektronik angka realitas penggunaan BBM bersubsidi sepanjang tahun, akan
tetapi dalam proses pelaksanaanya, tempat-tempat yang ditentukan oleh
Pertamina, sungguh sangat menyulitkan para pengguna jalan, karena lokasi pompa
bensin berada pada jalur padat, antrian pemasangan alat ini, semakin
memperparah kemacetan pada setiap pompa bensin yang melayani pemilik mobil
untuk memasang RFDI ini.
Alat ini ditargetkan oleh Pemerintah sudah
terpasang di Jakarta untuk setiap pemilik kenderaan roda empat paling lambat
akhir tahun ini, menurut penjelasan pihak pertamina di Jakarta jumlah mobil
pribadi mencapai 4.5 juta, dengan demikian jika alat ini terpasang pada setiap
kenderaan monitor penggunaan BBM bersubsidi akan tepat sasaran sehingga
jebolnya keuangan negara untuk subsidi BBM selama ini, tidak akan terulang
lagi.
Benarkah demikian? bahan bakar untuk keperluan
transportasi maupun energy, adalah hak mutlak setiap warga negara untuk
mendapatkannya, hukum pasar yakni permintaan dan penawaran berlaku disetiap
negara manapun, namun di Negeri ini, kebutuhan orang banyak selalu dikendalikan
oleh Pemerintah, sehingga permainan kotor dalam setiap lini, jelas terlihat
disini.
Subsidi BBM jelas permainan antara penguasa dan
perusahaan pelat merah, semakin banyak kebohongan yang dibongkar oleh pemerhati
BBM, semakin canggih cara-cara yang mereka lakukan untuk bisa menggunakan dana
subsidi tersebut, pasar minyak dunia sebagai pasar jual beli minyak diseantero
jagad, selalu diabaikan dalam penentuan harga jual di pompa bensin, mengapa
subsidi BBM terus menerus digelontorkan dari APBN? tentu ada udang dibalik batu
bukan?
Lihatlah pengakuan petinggi SKK migas
beberapa hari ini di gedung KPK, membuat mata setiap orang yang mendengar
pengakuan pak Widodo tercengang, sudah sedemikian hancurnya pemimpin Negeri ini
dalam mempermainkan kebutuhan dasar rakyatnya, melalui percaloan quota import
BBM dengan para broker yang bergentayangan digedung migas.
alat apapun yang diharuskan untuk membatasi
penggunaan BBM bersubsidi, tidak akan mempengaruhi penggunaan BBM bersubsidi,
karena inti dari permasalahan utama dalam pengelolaan BBM, bukanlah dari jumlah
penggunaan, melainkan jebolnya dana APBN, untuk membayar selisih harga versi
Pemerintah dalam penentuan harga jual BBM, kepada khalayak umum. BBM tanpa
subsidipun rakyat akan beli, lalu kenapa pembelian BBM non subsidi juga harus
menggunakan alat pemantau?
Pendapat
Saya
Pemasangan RFID pada
kendaraan roda empat baru-baru ini intinya merupakan salah satu upaya
pemerintah agar penggunaan BBM bersubsidi tepat sasaran dan tentunya akan
menghemat APBN negara. Saya apresiasi usaha pemerintah atas segala upaya yang
telah dilakukan agar penggunaan BBM tepat sasaran khususnya dengan upaya
pemasangan RFID. Menurut saya boleh saja pemerintah melakukan pemasangan RFID
pada setiap kendaraan agar dapat dikontrol dalam menggunakan BBM, tapi yang
perlu diperhatikan adalah dalam hal pelaksanaannya. Pemerintah harus memantau
dalam pemasangan RFID ini karena dikhwatirkan terjadi praktek uang haram,
maksudnya dari pemerintah sendiri pemasangan alat ini digratiskan tidak menutup
kemungkinan ada pihak yang nakal yang memasang tarif. Dan yang lebih ironisnya
saya melihat berita ditelevisi mengenai pemasangan RFID di pom bensin saya
melihat kendaraann mewah ikut mengantri pemasangan alat tersebut. Sungguh
sangat disayangkan.
Referensi :
0 komentar:
Posting Komentar