Djohar Arifin Husin (Ketua PSSI)
Timnas Indonesia kembali membuat rekor baru di bawah PSSI pimpinan Djohar
Arifin. Akan tetapi rekor yang dibuat Indonesia itu adalah bukan rekor yang
dapat di banggakan.
Seperti yang diketahui, timnas Garuda membuat rekor
kekalahan terbesar mereka setelah ditekuk Bahrain dengan skor 10-0 dalam ajang
Pra-Piala Dunia pada 29 Februari 2012 lalu.
Kegagalan
demi kegagalan terus dituai oleh ketua umum yang terpilih lewat Kongres Luar
Biasa PSSI di Solo, 9 Juli 2011 silam itu. Djohar, yang digadang-gadang bisa
memperbaiki konflik yang mulai tumbuh di PSSI, justru membuatnya semakin parah.
Alih-alih rekonsiliasi,
ketua umum asal Tanjung Pura, Sumatera Selatan itu justru membuat perpecahan
kian jelas. Langkah pertama yang dilakukannya adalah menyapu bersih pengurus
lama dan peninggalannya tanpa terkecuali, termasuk Timnas Indonesia yang sedang
menanjak popularitas dan kualitasnya. Alfred Riedl dipecat sementara seluruh
personel Badan Tim Nasional diganti.
Ia juga membabat habis
pengelola liga dan produknya yang mulai mapan, Liga Super Indonesia dan diganti
dengan Liga Primer Indonesia yang sarat kepentingan. Kian parah, liga baru ini
tidak mampu menunjukkan kualitas yang setara dengan ISL, baik dari segi
ekonomi, kualitas hiburan dan yang terpenting kualitas pemain.
Singkat cerita,
penolakan demi penolakan akhirnya meruncing hingga muncul dualisme organisasi.
Setelah mencabut pengakuannya terhadap kepengurusan Djohar, sejumlah klub mapan
Indonesia yang menjadi supplier utama pemain Timnas menyalurkan
dukungannya kepada kepengurusan baru yang lahir di bawah pimpinan La Nyalla
Mattalitti dan menolak meminjamkan pemainnya untuk Timnas di bawah kendali
Djohar.
Naas bagi Djohar, ia
tidak mampu beradaptasi dengan masalah yang ditimbulkannya sendiri. IPL
buatannya tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai mesin produksi
pemain-pemain kaliber Tim Nasional. Manajemen Timnas pun amburadul.
Dampaknya, hanya
setahun lebih satu bulan setelah terpilih, Indonesia melorot hingga ke posisi
terendah sepanjang sejarah PSSI berdiri, yakni peringkat ke-159 dunia. Tak
berhenti sampai di situ, posisi Indonesia terus melorot hingga 170 pada bulan
Oktober dan 165 pada bulan ini. Ini adalah rekor pertama yang dicetak Djohar.
Rekor berikutnya adalah
hasil imbang 2-2 melawan Laos pada AFF Suzuki Cup 2012, Minggu (25/11/12).
Sebelumnya, Indonesia selalu menang dengan selisih lebih dari satu gol setiap
bertemu Laos di Piala AFF.
Selama ini, Djohar
selalu berkilah bahwa buruknya performa Timnas Indonesia ini karena langkah
pihak rivalnya yang menahan pemain-pemain dari Liga Super Indonesia (ISL) untuk
bergabung ke Timnas. Benarkah?
Djohar sebenarnya punya
dua kesempatan untuk menghindari masalah tersebut. Yang pertama adalah
mendengarkan penolakan klub-klub ISL terhadap rencana pembentukan liga baru
yang sarat kepentingan. Hal itu ditolaknya sehingga berbuah perlawanan.
Kedua, kubu La Nyalla
telah memberikan kesempatan untuk menggunakan pemain-pemain dari klub ISL
dengan syarat menyerahkan pengelolaan Timnas pada Joint Committee.
Joint Committee adalah
badan yang dibentuk atas prakarsa FIFA dan AFC untuk mengambil alih
penyelesaian konflik organisasi PSSI. Kedelapan personelnya adalah empat dari
kubu Djohar dan empat lagi dari kubu La Nyalla. Dengan demikian, Timnas bisa
dikelola bersama dengan semangat rekonsiliasi. Namun peluang ini dimentahkan
pula oleh Djohar.
Sayang, arogansi ketua
umum tidak disertai skil yang mumpuni di bidang manajemen. Tak jarang Timnas
kesulitan mengumpulkan pemain akibat kalah berebut dengan klub-klub IPL, yang
masih butuh jasa para pemainnya. Selama itu pula, tak ada ketegasan dari Djohar
untuk memaksa klub melepaskan pemainnya demi kebutuhan Timnas. Ini berbeda
dengan sikapnya saat berusaha menekan klub ISL agar meminjamkan pemainnya. Ia
bahkan menghembuskan isu nasionalisme untuk memojokkan klub-klub tersebut.
Kendala dana juga kerap
mengganggu pemusatan latihan tim, termasuk kesulitan mendapatkan lawan tanding
yang terprogram. Hasilnya, kualitas Timnas pun menurun.
PSSI sudah mendapat
waktu cukup lama untuk memperbaiki masalahnya, membentuk Timnas yang kuat serta
kesempatan untuk memainkan pemain-pemain yang lebih berkualitas. Namun hingga
kini, tak satupun yang tercapai. Masih layakkah Djohar menumpangkan
kegagalannya di pundak orang lain?
Referensi :
0 komentar:
Posting Komentar